Home Forum Hibah Dikti Mencari model pendanaan riset yang lebih baik bagi Indonesia: Belajar dari Sing

Melihat 1 tulisan (dari total 1)
  • Penulis
    Tulisan-tulisan
  • #2533
    asepx
    Peserta

    Beberapa salah satunya ialah pengucuran “Dana Kekal Riset” bermodalkan awal Rp 990 miliar, pemberian kemudahan pajak 300% untuk perusahaan yang lakukan investasi dalam analisa serta peningkatan, sampai gagasan pembentukan satu “Badan Analisa Nasional” untuk mengkoordinir permodalan analisa di Indonesia.

    Akademisi mengingatkan jika tanpa ada transparansi, akuntabilitas, serta persaingan yang sehat, upaya-upaya itu akan selesai percuma.

    Pada tahun 2019, Indonesia menganggarkan Rp 35,7 triliun harga kamera canon dibawah 2 juta atau cuma seputar 0,24% dari GDP untuk analisa. Dana ini menyebar di 45 kementerian serta instansi. Diluar itu, cuma 43,7% dari dana ini yang dipakai murni untuk analisa, sesaat yang lain untuk membayar operasional.

    Dalam diskusi bertopik “Mencari Mode Pengendalian Dana serta Koordinasi Analisa di Indonesia” akhir bulan kemarin di Jakarta, akademisi menjelaskan Indonesia dapat belajar dari Singapura, yang seringkali dipandang seperti negara dengan analisa paling baik di Asia, bagaimanakah cara mengurus permodalan analisa.

    Singapura sendiri mengkoordinir permodalan risetnya lewat satu tubuh namanya National Research Foundation (NRF).
    Melakukan perbaikan kurangnya pengaturan

    Pada acara diskusi yang diadakan oleh Knowledge Sector Initiative (KSI), Katadata, serta Fakultas Ekonomi Kampus Indonesia itu, Yohanes Eko Riyanto, profesor di Nanyang Technological University (NTU) menjelaskan jika, sama dengan Indonesia, ekosistem analisa di Singapura menyertakan beberapa kementerian serta instansi permodalan.

    Meski begitu, permodalan analisa di Singapura terkoordinasi dengan benar-benar baik, dikomandoi oleh National Research Foundation (NRF).

    Instansi yang ada langsung dibawah kantor eksekutif Pertama Menteri ini memastikan prioritas analisa nasional serta mengkoordinir beberapa instansi permodalan untuk pastikan tidak ada yang tumpang tindih.

    “Rancangan lanscape analisa di sini (Singapura) benar-benar jelas. Tidak ada banyak instansi yang kerja sendiri-sendiri seperti di Indonesia,” tuturnya.

    Skema itu kerja secara baik. Singapura benar-benar produktif dalam membuahkan analisa serta pengembangan yang bermutu. Negara itu berada di rangking ke-8 dalam Indeks Pengembangan Global tahun 2019, menaklukkan raksasa Eropa, Jerman (rangking ke-9).

    Selain itu, Indonesia menempati rangking ke-85, kalah dari Kenya (rangking ke-77) serta Jamaica (rangking ke-81).
    Potensial berdirinya “Badan Analisa Nasional”

    Gagasan pemerintah Indonesia untuk membangun Tubuh Analisa Nasional, yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2019 mengenai Skema Nasional Pengetahuan Pengetahuan serta Tehnologi, mempunyai tujuan untuk mengakhiri persoalan permodalan analisa yang tidak efisien.

    Riyanto menjelaskan jika instansi itu bisa mengatasi kurangnya pengaturan permodalan pada ekosistem analisa Indonesia.

    Tetapi, beliau mengutamakan jika Tubuh Analisa Nasional cuma dapat kerja secara baik jika direncanakan jadi instansi berdiri sendiri yang tawarkan permodalan dengan transparan serta bersaing.

    “Di Singapura, proposal analisa dievaluasi berdasar persyaratan yang ketat seperti tanda kesuksesan project serta andil untuk sains. NRF (National Research Foundation) selanjutnya mengundang beberapa akademisi paling baik dunia untuk duduk di komite pelajari. Berarti, semua proposal diseleksi dengan standard analisa dunia,” tuturnya.

    Peranan dari Tubuh Analisa Nasional masih diperdebatkan. Beberapa akademisi sudah mengemukakan kecemasan jika instansi itu mempunyai potensi berkekuatan serta dampak politik yang terlalu berlebih.

    Akademisi lain cemas jika instansi analisa ini bisa berlaku bias serta salah gunakan kekuasaaannya untuk cuma mendanai analisa yang di setujui oleh pemerintah.

    Teguh Dartanto, Kepala Departemen Ekonomi di Kampus Indonesia, menjelaskan jika persoalan analisa di Indonesia sejumlah besar berkaitan mekanisme administratif yang susah serta waktu permodalan analisa yang singkat.

    Menurut dia pendirian instansi ini bisa membuat birokrasi pengendalian dana analisa bertambah efektif.
    Menyambungkan periset dengan industri

    Indonesia merencanakan untuk memberi kemudahan pajak sampai 300% pada perusahaan yang lakukan investasi berkaitan analisa serta peningkatan. Riyanto menjelaskan jika Indonesia bisa belajar dari Singapura dalam menyertakan bidang swasta supaya mereka bersedia untuk makin meningkatkan dana untuk analisa.

    Pada tahun 2016, National Research Foundation menginformasikan jika pemerintah Singapura akan sediakan S$ 19 miliar (hampir Rp 200 triliun) untuk dana riset sampai 2020 jadi sisi dari gagasan analisa lima-tahunan mereka.

    Meski begitu, bantuan dana paling besar datang dari bidang swasta. Dari keseluruhan 2,2% PDB Singapura yang disiapkan untuk riset, bidang swasta memberi lebih dari setengahnya (seputar 1,2% dari PDB).

    Riyanto mengutamakan mengenai utamanya peranan Agency for Science, Technology, and Research (A-STAR).

    A-STAR dengan struktural ialah sisi dari Kementerian Perdagangan Singapura, dan juga adalah salah satunya instansi permodalan analisa penting yang ada dibawah pengaturan National Research Foundation. Instansi ini memiliki peranan unik untuk pimpin analisa yang fokus pasar, serta memperantai di antara dunia akademik dengan bidang swasta.

    Instansi ini bekerja bersama dengan pemerintah serta industri untuk sediakan dana yang besar sekali untuk analisa canggih, dari mulai bagian kesehatan sampai manufaktur.

    Pada periode 2011-2015, A-STAR sendiri terjebak dalam 8.965 project swasta, hingga membuahkan pengeluaran analisa lebih dari US$ 1,15 miliar (seputar Rp 16 triliun).

    Beberapa dana hibah ditawarkan untuk instansi analisa serta kampus, seperti NTU, dengan bersaing.

    “Perusahaan-perusahaan besar misalnya Rolls-Royce, BMW, serta Alibaba, bekerja bersama dengan NTU untuk membangun laboratorium perusahaan. Jika mereka menginvestasikan dana analisa pada kampus, pemerintah lewat NRF akan menyuntikkan penambahan dana lewat program Laboratorium Perusahaan di Kampus untuk makin menguatkan kerja sama itu,” Riyanto menerangkan.

    Pada tahun 2017, Kementerian Analisa, Tehnologi, serta Pendidikan Tinggi (RISTEK DIKTI) mengatakan jika bidang swasta baru menginvestasikan seputar Rp 6 triliun untuk analisa. Jumlahnya ini sama dengan cuma 0,04% PDB Indonesia.

    Beberapa akademisi menjelaskan jika kurangnya keterkaitan industri, atau tidak terdapatnya instansi yang menggerakkan keterkaitan swasta dalam analisa, menyebabkan Indonesia melepaskan peluang membuat lapangan kerja yang masif dan tingkatkan daya saing global.

Melihat 1 tulisan (dari total 1)
  • Anda harus log masuk untuk membalas topik ini.